Rabu, 08 Juni 2011

Tak Terdefinisi

Baim dan Memo nya, 19 November 1988 - 11 Maret 2010

 
Bukan ingin selalu terpaku karena masa lalu. Antara senang  dan susah, bahagia dan duka.  Yang aku tahu masa lalu akan menjadi pembelajaran bagiku. Seperti katamu yang kau kutip dari buku favoritmu “masalah akan mendatangkan sejuta pengalaman, dan itu akan membuat kita semakin bijaksana”. Aku jadi makin rindu.

Selalu ku ingat, saat pertama aku di terima di club basket yang lama menjadi impianku,  pertama aku mengenal cinta kepada lawan jenis, mendapat nilai tertinggi dan menjadi lulusan terbaik disekolah. Setiap senang dan bahagiaku, kau yang pertama  ku bagi. Masih sangat jelas senyum bahagiamu. Saat kau turut tertawa girang dengan semua kekonyolan ku. Berbagi cerita tentang kondisi tubuh yang penuh kekurangan dan masalah. Saling mendukung saat harus bertemu lelaki berseragam putih.

Hingga kita berbagi duka. Karena nakalku, kau ikut bermasalah dengan yang berwajib.  Karena salahku, kau turut dimarahi mama. Dan karena kekonyolanku, aku tidak pernah jera membuatmu khawatir. Saat aku kalah taruhan, kalah tanding basket, putus cinta, di ceramahi Ibu baju Ijo (aku gag lupa itu).  Dan saat kita harus bersaing untuk mendapatkan nilai terbaik. Maaf, saat itu aku harus menang.

Oh, iyah bukannya kita mulai bersaing saat masih TK? Kamu kan yang mulai duluan. Aku ditantang lari sama kamu, dan kamu yang menang. Jelas saja aku kalah, aku kan anak cewek. Terus aku nangis karena tidak mau menerima kekalahan.

Yang sangat membekas, saat aku menerima sebuah takdir yang  kuanggap masalah besar. Menjadi seorang Sekjend PPMI Kota Makassar. Harus membangunkanmu di tengah malam, hanya untuk mendengarkan keluhan tentang kebodohanku sendiri.  Dan emosiku memuncak saat ekspresimu tidak sesuai dengan inginku, tertawa dan bahagia karena tingkahku yang konyol, sok penting.

“Seharusnya kamu bangga, menjadi seorang sekjend. Tidak semua wanita bisa, nanti kalau ke Jogja, jangan lupa beliin aku oleh-oleh yaah” (yang saat itu menjelang Dies Natalis PPMI di Jogja), katamu.
 “Kasih duit yang banyak, biar aku bawain oleh-oleh plus aku boyong Sultan Jogja dan keluarga ke Makassar buatmu” jawabku dengan nada mencibir. Aku masih ingat senyummu saat itu. dan buatku sangat rindu.

Jingga itu. masih selalu menanti kita. Setiap senjanya terus menunggu,seakan kita yang menjadikan indahnya semakin sempurna.

Tiba-tiba aku kehilangan kabar tentang mu. Nomormu tidak aktif, emailku tidak dibalas. Kamu kemana? Aku kebingungan. Setiap hari ke danau, mungkin saja kamu sedang terdiam disitu. Namun tetap tidak ada hasil. 109 hari aku tanpa hadirmu. Hingga aku di kabari kau sudah  pulang kampung dan sedang dirawat di rumah sakit. Mengapa aku tidak tahu akan hal itu? apa kau sengaja tidak mengabariku?  Ingin sekali  marah dengan ketidakadilanmu. hingga aku libur semester dan turut serta pulang untuk menemuimu di sana.

Sering bersama, tidak menjadikan kita berjodoh dalam segala hal.

Sayang sekali, belum sempat aku melaksanakan niatku untuk memarahimu abis-abisan, Tuhan berkehendak lain.
Hari masih sangat pagi, Rabu 11 Maret 2010, aku harus menerima kenyataan yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya. Kau harus pergi menyapa dan memenuhi panggilan Illahi. Sungguh takdir yang sangat kejam. Karena Hepatitis  B dan Radang lambung yang kau derita. Bukannya malam sebelumnya kau baik-baik saja (kata Ayah). Mengapa hari ini beda? Bukankah  katamu kita harus sama-sama kuat dengan semua kekurangan yang sama-sama kita miliki.  Aku jadi benci karena kau ingkar janji.

Apa kau tahu, saat itu aku tidak berhenti menangis. Jika selama ini hanya kau yang bisa menghiburku disaat aku menangis dan sedih? Sekarang siapa yang bisa melakukan itu? kau ingkar janji. Aku jadi membencimu karena ini. Pembohong.
Aku semakin tidak sanggup saat jasadmu akan di bawa ke liang lahad. Jangan pergi. Aku terus menjerit dan menangis, hingga tersadar saat aku terbaring di pangkuan mama. Semoga ini mimpi, pikirku.  Aku kembali menampar dan mencubiti pipi ku, masih belum percaya. Ternyata aku tidak sedang bermimpi. Sakit sekali.  Sesekali, aku berucap ingin turut bersamamu.
“hidupku tidak berhenti sampai disini, kau yang akan melanjutkan tongkat itu. baik-baik yah..” pesan terakhirmu buatku yang tidak kupahami maknanya. Dan ternyata itu…  aah, Bodoh!

Meski berat, aku terus melangkah dengah tertatih sendiri dan tanpamu. Menyelesaikan studi, dan sehat kembali. Kini, aku mau berbagi kebahagiaan lagi. Skripsi sudah ditangan, sebentar lagi aku sarjana. Ini buatmu. Bisik ku dalam hati.  Dan sampai tulisan ini sengaja kubuat (11 Maret 2011) untuk kembali mengelabui rasa rinduku dengan mengenangmu. Lelaki yang pernah menjadi Ayah, kakak dan sahabat. Bagiku, arti hadirmu lebih dari itu. terkadang permintaan hati memaksaku barkata-kata konyol. Saat aku kembali jatuh tanpamu sesaat aku mencibir “jemput aku sekarang”. Tanpamu aku hilang selalu.

Lapangan basket, senja dan danau masih sama seperti dulu. Saat aku diterima di club basket, saat aku bercerita tentang lelakiku di Danau, hingga sekarang masih sama. Kebersamaan kita semua terjadi karena cinta yang tidak pernah kusadari itu. kau menyimpannya dengan sangat rapi. Hingga sedikitpun tidak terjamah olehku. Senandung lagu cinta – Ada Band, lagu yang sering kita kita nyanyikan bersama. Mengapa  tidak kuselami maknanya saat itu? Sesal.

Aku rindu menyapa pagi bersamamu. Semua tentangmu, aku rindu.

4 komentar:

  1. Baim saat ini menanti senyum lepasmu kembali. jangan kecewakan dia mbak...
    di sekitarmu pasti ada sosok yang ingin mengisi posisi Baim di hatimu. meski tak se indah yang telah dia torehkan.
    Semoga di damai di sisi-Nya.
    Amin...

    BalasHapus
  2. Amiinn,,
    semoga saja memang ada,,,

    BalasHapus
  3. Catatan ini sudah cukup lama hanya saya saja yg baru membacax,tp inilah hidup dimana ada "Hello" pasti ada "Goodbye", mungkin kanda masih membuhtuhkan sosok seorang BAIM tp apa boleh buat surga lebih merindukannya.Amiin !!

    BalasHapus
  4. Ikhlas itu, hal paling sulit, tapi itu harus di jalani. Baim sudah tenang dan saya harus melanjutkan hidup.

    BalasHapus