Pasti ada pertanyaan, Bahonlangi itu apa? Saya juga awalnya bertanya
begitu ke kak Appi (orang yang memperkenalkan bahonlangi kesaya).
Apa itu
Bahonlangi, dimana, dan ada apa saja disana??
Baiklaah, saya jelaskan sedikit. Saya mendengar Bahonlangi semenjak
ikut kegiatan Travelling and Teaching 1000 Guru Sulsel di Lappatemmu kab. Barru
(saya lebih suka menyebutnya TnT Lappatemmu). Bahonlangi adalah salah satu
dusun di desa Bonto Jai, Kab. Bone yang letaknya sangat jauh dari kota. Orang kayak
saya menyebutnya pedalaman. Untuk ke Bahonlangi, kita naik kendaraan (bisa naik
mobil sewa atau pakek motor) lewat Malino 4,5 jam sampai di tempat
pemberhentian motor terakhir.
Sesudah itu tracking selama 3 jam (kalau warga
lokal bisa 2 jam atau bisa juga naik motor warga lokal yang sudah di modif
khusus untuk melewati medan ke Bahonlangi). Jangan tanya medannya. Naik turun
gunung, lumpur (apalagi pas hujan) hutan belukar, hutan pinus, sawah,
perkebunan. Dan yang menarik, tracking ke Bahonlangi dijamin aman. Meski jarang
ada orang luar yang kesana, tapi setiap hari selalu saja ada warga yang lewat
di jalan. Apalagi kalau mereka tau ada orang-orang kota yang akan mengunjungi
Bahonlangi.
Nah, mengapa harus Bahonlangi? Karena akses yang jauh dari kota, Bahonlangi
termasuk salah satu daerah yang didiskiriminasi oleh pemerintah setempat.
Bagaimana saya tidak menyebutnya begitu, akses kesana tidak pernah dilirik oleh
pemerintah kabupaten. Hasil bincang-bincang saya dengan kak Appi (Koordinator
1000 Guru Sulsel) dan warga setempat, Bahonlangi sangat jarang disentuh oleh
pemerintah. Mungkin karena jumlah penduduk yang sedikit sehingga tidak
mempengaruhi populasi yang ada di kabupaten Bone. Ada 37 KK dengan 120 warga
disana. Dari segi pendidikan, disana ada 1 SD (disebut Kelas jauh) 2 ruangan
kelas. Ruangan pertama ditempati oleh kelas 1, 2 dan 3, lalu ruangan kedua
ditempati kelas 4, 5 dan 6. Gurunya hanya 1 orang, namanya Ibu halipa, mereka
menyebutnya Puang Guru. Metode pembelajarannya, ibu Halipa mengajar secara
bergantian. Setelah menjelaskan sedikit di satu kelas, lalu diberi tugas untuk
diselesaikan. Kemudian ibu Halipa pindah ke kelas yang satu lagi untuk
memberikan metode pelajaran yang sama. Untuk detail bagaimana perkembangan
pendidikan di Bahonlangi, saya akan membahasnya di tulisan yang berikut,
setelah saya berkunjung kesana lagi.
Lalu jangan tanya soal perkembangan ekonomi. Disana ada sawah, kebun
kopi, hutan pinus dan masih banyak hasil bumi yang seharusnya bisa dilirik
pemerintah sehingga menunjang perbaikan insfrastruktur di Bahonlangi, namun
nyatanya TIDAK.
Karena alasan pendidikan yang masih jauh dari kata layak, tim 1000
Guru Sulsel menjadikan Bahonlangi sebagai tempat Satu Bulan Mengabdi di
Pedalaman (SBMP) salah satu dari program 1000 Guru. Tapi ternyata satu bulan
saja tidak cukup, sehingga mengabdi di Bahonlangi yang dimulai 2016 masih
berlanjut hingga sekarang.
Secara singkat Bahonlangi seperti itu. Bagi saya, mengunjungi
tempat-tempat seperti Bahonlangi mungkin bisa jadi sesuatu yang spesial.
Kembali ke NEKAT BAHONLANGI. Setelah 2 kali gagal ke Bahonlangi karena
masalah kerjaan dan keluarga, akhirnya kali ini Allah merestui. Padahal sempat
putus asa, karena tidak ada teman yang mau kesana. Di Bahonlangi sudah ada 2
teman dari 1000 Guru yang lebih dulu kesana (sepertinya saya perlu
memperkenalkan mereka kalii yaa). Ada kak Appi (kayak yang saya jelaskan di
atas, kak Appi adalah koordinator 1000 Guru Sulsel) dan kak Basir (Tim 1000
Guru Sulsel). Dan saya, volunteer yang baru saja bergabung di 1000 Guru Sulsel.
Oh iyah, satu lagi yang harus kalian tahu dari 1000 Guru, semua dipanggil
kakak, biar tidak ada sistem senioritas.
Kembali ke fokus cerita, karena beberapa teman banyak yang batal ikut,
lalu kak Appi merekomendasikan cara lain, katanya via telepon :
“ kak Tuti, kalo mau ke Bahonlangi, naik mobil sewa ke Tombolo Pao
(kota kecamatan yang dilewati kalau ke Bahonlangi), trus nanti ke Bahonlanginya
sama Oddo dan Sulastri (anak Bahonlangi yang sekolah di Kota Kecamatan). Kalau
misalnya, dari Makassar sendirian tidak
apa-apa, dijamin aman kok”.
Dasar orang gilaak yang tidak bisa di tantang, saya mengIYAkan
rekomendasi dari kak Appi. Jadilah saya, sabtu pagi berangkat ke Tombolo pao
naik mobil sewa. Tiba di kota kecamatan jam 1 siang, lalu istrahat sebentar.
Dan pukul 13.45 saya melanjutkan perjalanan ke Bahonlangi naik motor bareng 2
anak Bahonlangi yang luar biasa. Jangan membayangkan dengan naik motor bisa
cepat dan nyaman. Karena setelah masuk ke jalur tracking, Demi Tuhan saya lebih
memilih jalan kaki. Tapi tetap dipaksa sama si dua anak luar biasa itu untuk
naik motor. Akhirnya saya mengalah tapi dengan syarat, setiap pendakian atau
penurunan saya jalan kaki saja. Sumpah, medannya ngeri. Ketemu medan seperti
ini bukan hal baru buat saya. Tapi kok,, ngerii yaa.
Sampai tiba diperbatasan dusun, ada warga yang sengaja menjemput
karena memang medan ke Bahonlangi (berkali-kali saya bilang) ngerii
(hahaha...., terkesan lebai yaah). Dan jadilah saya dibonceng sama si warga
itu. Dengan perasaan dumba-dumba gleteer (takut) saya pun melanjutkan
perjalanan ke Bahonlangi naik motor. Setiap ada pendakian atau penurunan selalu
saya minta turun dari motor. Tapi kata bapak warga yang ternyata kakak dari si
empunya rumah yang akan sy tempati nginap, “ jangan mi turun dek, aman ji,
pegangan mi saja”. Okeeh, saya pegangan sambil teriak-teriak kalau-kalau
motornya tiba terselip tapi tidak jatuh. Atau misalnya pas penurunan motornya
jalan dibagian pinggir jalan yang disampingnnya ada jurang. Sumpaah, ini
ekstrim (sambil berdoa sebanyak-banyaknya dalam hati).
Tiba di perbatasan kampung, ada sungai kecil. Sy minta diturunkan. Mau
bersih-bersih dulu sebelum masuk kampung (biar tetap tampil maksimal, hahah).
Air sungainya dingin dan jernih. Jadi pengen mandi.
Trus kata saya, “pak, jangan mi tunggui ka, biar sy jalan kaki saja.
Saya mau nikmati perkampungan Bahonlangi”. Tapi tidak boleh sama si bapak,
katanya rumahnya masih jauuuuuh. Nanti saya capek. Ah, baiklah saya mengalah.
Lalu saya naik motor lagi, baru jalan 2 menit, motornya berhenti. Saya turun,
trus kata bapaknya “tibami dek” sambil tertawa. Sumpaah, saya jengkel setengah
mati (kok yaa kayak merasa dibohongi sama sibapak).
Padahal kan kalo saya jalan juga ternyata tidak jauh-jauh amat. Kamu
harus tau sensasi jalan-jalan diperkampungan seperti Bahonlangi. Ketika mata
kita yang biasanya bosan dengan hiruk pikuk keangkuhan urban, ketemu Bahonlangi
rasanya ketemu jodoh. Menyejukkan (berlebihaan???? Anggap saja seperti itu).
Makanya saya ngotot mau jalan kaki saja.
Di Bahonlangi saya nginap dirumah Puang Anti. Yang ternyata kakak adik
dengan rumah yang saya singgahi di Tombolo Pao. Mereka keluarga yang ramah.
Cara mereka memperlakukan tamu sangat menyentuh. Saya seperti pulang kerumah.
Hari minggunya, kak Appi mengajak para siswa untuk kembali hadir di
sekolah untuk mengikuti kelas Kreatif. Kita belajar menggambar. Sekalian
perkenalan dengan kakak Guru yang baru yaitu Akuu (hahahah).
Setelah kelas kreatif saya diajak kak Appi ketemu Puang guru Halipa.
Sosok yang menjadi titik tolak pendidikan di Bahonlangi. Kisah luar biasa puang
guru Halipa akan saya kisahkan di tulisan tersendiri. Yang pasti, saya bahagia
ketemu sama sosok pahlawan yang selama ini ingin sekali saya temui. Dirumah
puang Guru, kita masak sama-sama, makan sama-sama, tertawa, ngobrol bahagia.
Sungguh kebahagiaan itu sederhana guys.
Sejujurnya saya sulit menggambarkan dusun Bahonlangi. Singkatnya,
Bahonlangi bikin ketagihan untuk lagi, lagi kembali berkunjung. Tidak cukup
sekali.
Mungkin untuk saya Bahonlangi, warganya, kopinya, sungainya dan semua
alamnya menjadi alasan bahwa sesungguhnya banyak hal yang seharusnya saya
syukuri setiap saat. Berada diantara orang-orang yang selalu memberikan energi
posiitif misalnya.
Dari Bahonlangi saya belajar, kehidupan yang saya keluhkan setiap saat
kadang menjadi kehidupan yang orang lain impikan.
Ketika saya selalu mengeluh jauh dari keluarga, saya lupa bahwa
sebenarnya disemua tempat adalah keluarga. Kita cukup memperbaiki diri.
Kebaikan akan berpihak pada kita. Percayalah...!
Minggu pukul 15.00, saya bersiap pulang ke Makassar. Masih seperti
kemarin, rute yang saya lewati adalah tracking sekitar 3 jam untuk warga baru,
lalu naik motor atau mobil ke Makassar. Kali ini saya pulang berdua sama kak
Basir (Tim 1000 Guru), kak Appi nya belum pulang. Motor yang dipakek dari
tempat penitipan motor ke Tombolo Pao cuma satu. Jadi, First Ladies
(mengutamakan perempuan itu anggap saja memuliakan Ibu,, iya gak??)
Kembali melewati hutan pinus, jalan becek, lumpur, jauh, tidak
bersahabat, tanjakan, penurunan, hujan, kabut, (ududududu,, lama kelamaan saya
kok merasa lagi syuting film Putri Dari Negeri Berkabut,, hahaha,, kalo mau
tertawa, tertawa saja, jangan ditahan, itu panggilan alam).
Daaaan, ada satu kejadian lucu sewaktu perjalanan pulang. Lagi
semangat-semangatnya tracking, tiba-tiba betisku berdarah. Darahnya juga
mengerikan. Cek per cek, saya di hisap lintah. Eh, dihisap atau di gigit sih??
Dan sialnya, saya tidak tau sejak kapan lintah itu main-main di betisku.
Tiba-tiba saja berdarah dan lintahnya sudah tidak ada. Sungguh perilaku yang
sangat tidak sopan. Ijiin napaa? Kan kalo ijin bisa saya kasi ruang buat si
lintahnya untuk main. Tanpa harus curi-curi kesempatan. Yee kan. (hahahha,,
gilaaak)
Lanjut, setelah jalan kaki selama 2 jam lebih sedikit kita tiba di
tempat peniitipan motor. Horeeee,, Milea memecahkan rekor, tracking lebih cepat
dari pemula, tanpa istrahat yang super lebai, tanpa ransel di bawain temen,
walo masih mengeluh ini itu kalo pas tanjakan.
Dan, terimakasih pandangan pertama Bahonlangi yang sunguh menyentuh.
Meski merasa jadi perempuan super yang tiba-tiba punya teleportaasi tingkat
tinggi, tetap saya tidak ada apa-apanya dibanding perempuan-perempuan hebat
yang ada disana. Dibanding anak-anak Bahonlangi yang senyumnya tulus setiap
kali ketemu.
Sungguh,, aku dan kalian yang masih bisa membaca tulisan ini,
Bersyukurlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar