Kamis, 22 Maret 2018

Nekat Bahonlangi




Pasti ada pertanyaan, Bahonlangi itu apa? Saya juga awalnya bertanya begitu ke kak Appi (orang yang memperkenalkan bahonlangi kesaya). 
Apa itu Bahonlangi, dimana, dan ada apa saja disana??
Baiklaah, saya jelaskan sedikit. Saya mendengar Bahonlangi semenjak ikut kegiatan Travelling and Teaching 1000 Guru Sulsel di Lappatemmu kab. Barru (saya lebih suka menyebutnya TnT Lappatemmu). Bahonlangi adalah salah satu dusun di desa Bonto Jai, Kab. Bone yang letaknya sangat jauh dari kota. Orang kayak saya menyebutnya pedalaman. Untuk ke Bahonlangi, kita naik kendaraan (bisa naik mobil sewa atau pakek motor) lewat Malino 4,5 jam sampai di tempat pemberhentian motor terakhir. 
Sesudah itu tracking selama 3 jam (kalau warga lokal bisa 2 jam atau bisa juga naik motor warga lokal yang sudah di modif khusus untuk melewati medan ke Bahonlangi). Jangan tanya medannya. Naik turun gunung, lumpur (apalagi pas hujan) hutan belukar, hutan pinus, sawah, perkebunan. Dan yang menarik, tracking ke Bahonlangi dijamin aman. Meski jarang ada orang luar yang kesana, tapi setiap hari selalu saja ada warga yang lewat di jalan. Apalagi kalau mereka tau ada orang-orang kota yang akan mengunjungi Bahonlangi.
Nah, mengapa harus Bahonlangi? Karena akses yang jauh dari kota, Bahonlangi termasuk salah satu daerah yang didiskiriminasi oleh pemerintah setempat. Bagaimana saya tidak menyebutnya begitu, akses kesana tidak pernah dilirik oleh pemerintah kabupaten. Hasil bincang-bincang saya dengan kak Appi (Koordinator 1000 Guru Sulsel) dan warga setempat, Bahonlangi sangat jarang disentuh oleh pemerintah. Mungkin karena jumlah penduduk yang sedikit sehingga tidak mempengaruhi populasi yang ada di kabupaten Bone. Ada 37 KK dengan 120 warga disana. Dari segi pendidikan, disana ada 1 SD (disebut Kelas jauh) 2 ruangan kelas. Ruangan pertama ditempati oleh kelas 1, 2 dan 3, lalu ruangan kedua ditempati kelas 4, 5 dan 6. Gurunya hanya 1 orang, namanya Ibu halipa, mereka menyebutnya Puang Guru. Metode pembelajarannya, ibu Halipa mengajar secara bergantian. Setelah menjelaskan sedikit di satu kelas, lalu diberi tugas untuk diselesaikan. Kemudian ibu Halipa pindah ke kelas yang satu lagi untuk memberikan metode pelajaran yang sama. Untuk detail bagaimana perkembangan pendidikan di Bahonlangi, saya akan membahasnya di tulisan yang berikut, setelah saya berkunjung kesana lagi.
Lalu jangan tanya soal perkembangan ekonomi. Disana ada sawah, kebun kopi, hutan pinus dan masih banyak hasil bumi yang seharusnya bisa dilirik pemerintah sehingga menunjang perbaikan insfrastruktur di Bahonlangi, namun nyatanya TIDAK.
Karena alasan pendidikan yang masih jauh dari kata layak, tim 1000 Guru Sulsel menjadikan Bahonlangi sebagai tempat Satu Bulan Mengabdi di Pedalaman (SBMP) salah satu dari program 1000 Guru. Tapi ternyata satu bulan saja tidak cukup, sehingga mengabdi di Bahonlangi yang dimulai 2016 masih berlanjut hingga sekarang.
Secara singkat Bahonlangi seperti itu. Bagi saya, mengunjungi tempat-tempat seperti Bahonlangi mungkin bisa jadi sesuatu yang spesial.
Kembali ke NEKAT BAHONLANGI. Setelah 2 kali gagal ke Bahonlangi karena masalah kerjaan dan keluarga, akhirnya kali ini Allah merestui. Padahal sempat putus asa, karena tidak ada teman yang mau kesana. Di Bahonlangi sudah ada 2 teman dari 1000 Guru yang lebih dulu kesana (sepertinya saya perlu memperkenalkan mereka kalii yaa). Ada kak Appi (kayak yang saya jelaskan di atas, kak Appi adalah koordinator 1000 Guru Sulsel) dan kak Basir (Tim 1000 Guru Sulsel). Dan saya, volunteer yang baru saja bergabung di 1000 Guru Sulsel. Oh iyah, satu lagi yang harus kalian tahu dari 1000 Guru, semua dipanggil kakak, biar tidak ada sistem senioritas.
Kembali ke fokus cerita, karena beberapa teman banyak yang batal ikut, lalu kak Appi merekomendasikan cara lain, katanya via telepon :
“ kak Tuti, kalo mau ke Bahonlangi, naik mobil sewa ke Tombolo Pao (kota kecamatan yang dilewati kalau ke Bahonlangi), trus nanti ke Bahonlanginya sama Oddo dan Sulastri (anak Bahonlangi yang sekolah di Kota Kecamatan). Kalau misalnya, dari Makassar sendirian  tidak apa-apa, dijamin aman kok”.
Dasar orang gilaak yang tidak bisa di tantang, saya mengIYAkan rekomendasi dari kak Appi. Jadilah saya, sabtu pagi berangkat ke Tombolo pao naik mobil sewa. Tiba di kota kecamatan jam 1 siang, lalu istrahat sebentar. Dan pukul 13.45 saya melanjutkan perjalanan ke Bahonlangi naik motor bareng 2 anak Bahonlangi yang luar biasa. Jangan membayangkan dengan naik motor bisa cepat dan nyaman. Karena setelah masuk ke jalur tracking, Demi Tuhan saya lebih memilih jalan kaki. Tapi tetap dipaksa sama si dua anak luar biasa itu untuk naik motor. Akhirnya saya mengalah tapi dengan syarat, setiap pendakian atau penurunan saya jalan kaki saja. Sumpah, medannya ngeri. Ketemu medan seperti ini bukan hal baru buat saya. Tapi kok,, ngerii yaa.
Sampai tiba diperbatasan dusun, ada warga yang sengaja menjemput karena memang medan ke Bahonlangi (berkali-kali saya bilang) ngerii (hahaha...., terkesan lebai yaah). Dan jadilah saya dibonceng sama si warga itu. Dengan perasaan dumba-dumba gleteer (takut) saya pun melanjutkan perjalanan ke Bahonlangi naik motor. Setiap ada pendakian atau penurunan selalu saya minta turun dari motor. Tapi kata bapak warga yang ternyata kakak dari si empunya rumah yang akan sy tempati nginap, “ jangan mi turun dek, aman ji, pegangan mi saja”. Okeeh, saya pegangan sambil teriak-teriak kalau-kalau motornya tiba terselip tapi tidak jatuh. Atau misalnya pas penurunan motornya jalan dibagian pinggir jalan yang disampingnnya ada jurang. Sumpaah, ini ekstrim (sambil berdoa sebanyak-banyaknya dalam hati).
Tiba di perbatasan kampung, ada sungai kecil. Sy minta diturunkan. Mau bersih-bersih dulu sebelum masuk kampung (biar tetap tampil maksimal, hahah). Air sungainya dingin dan jernih. Jadi pengen mandi.
Trus kata saya, “pak, jangan mi tunggui ka, biar sy jalan kaki saja. Saya mau nikmati perkampungan Bahonlangi”. Tapi tidak boleh sama si bapak, katanya rumahnya masih jauuuuuh. Nanti saya capek. Ah, baiklah saya mengalah. Lalu saya naik motor lagi, baru jalan 2 menit, motornya berhenti. Saya turun, trus kata bapaknya “tibami dek” sambil tertawa. Sumpaah, saya jengkel setengah mati (kok yaa kayak merasa dibohongi sama sibapak).
Padahal kan kalo saya jalan juga ternyata tidak jauh-jauh amat. Kamu harus tau sensasi jalan-jalan diperkampungan seperti Bahonlangi. Ketika mata kita yang biasanya bosan dengan hiruk pikuk keangkuhan urban, ketemu Bahonlangi rasanya ketemu jodoh. Menyejukkan (berlebihaan???? Anggap saja seperti itu). Makanya saya ngotot mau jalan kaki saja.
Di Bahonlangi saya nginap dirumah Puang Anti. Yang ternyata kakak adik dengan rumah yang saya singgahi di Tombolo Pao. Mereka keluarga yang ramah. Cara mereka memperlakukan tamu sangat menyentuh. Saya seperti pulang kerumah.
Hari minggunya, kak Appi mengajak para siswa untuk kembali hadir di sekolah untuk mengikuti kelas Kreatif. Kita belajar menggambar. Sekalian perkenalan dengan kakak Guru yang baru yaitu Akuu (hahahah).
Setelah kelas kreatif saya diajak kak Appi ketemu Puang guru Halipa. Sosok yang menjadi titik tolak pendidikan di Bahonlangi. Kisah luar biasa puang guru Halipa akan saya kisahkan di tulisan tersendiri. Yang pasti, saya bahagia ketemu sama sosok pahlawan yang selama ini ingin sekali saya temui. Dirumah puang Guru, kita masak sama-sama, makan sama-sama, tertawa, ngobrol bahagia. Sungguh kebahagiaan itu sederhana guys.
Sejujurnya saya sulit menggambarkan dusun Bahonlangi. Singkatnya, Bahonlangi bikin ketagihan untuk lagi, lagi kembali berkunjung. Tidak cukup sekali.
Mungkin untuk saya Bahonlangi, warganya, kopinya, sungainya dan semua alamnya menjadi alasan bahwa sesungguhnya banyak hal yang seharusnya saya syukuri setiap saat. Berada diantara orang-orang yang selalu memberikan energi posiitif misalnya.
Dari Bahonlangi saya belajar, kehidupan yang saya keluhkan setiap saat kadang menjadi kehidupan yang orang lain impikan.
Ketika saya selalu mengeluh jauh dari keluarga, saya lupa bahwa sebenarnya disemua tempat adalah keluarga. Kita cukup memperbaiki diri. Kebaikan akan berpihak pada kita. Percayalah...!
Minggu pukul 15.00, saya bersiap pulang ke Makassar. Masih seperti kemarin, rute yang saya lewati adalah tracking sekitar 3 jam untuk warga baru, lalu naik motor atau mobil ke Makassar. Kali ini saya pulang berdua sama kak Basir (Tim 1000 Guru), kak Appi nya belum pulang. Motor yang dipakek dari tempat penitipan motor ke Tombolo Pao cuma satu. Jadi, First Ladies (mengutamakan perempuan itu anggap saja memuliakan Ibu,, iya gak??)
Kembali melewati hutan pinus, jalan becek, lumpur, jauh, tidak bersahabat, tanjakan, penurunan, hujan, kabut, (ududududu,, lama kelamaan saya kok merasa lagi syuting film Putri Dari Negeri Berkabut,, hahaha,, kalo mau tertawa, tertawa saja, jangan ditahan, itu panggilan alam).
Daaaan, ada satu kejadian lucu sewaktu perjalanan pulang. Lagi semangat-semangatnya tracking, tiba-tiba betisku berdarah. Darahnya juga mengerikan. Cek per cek, saya di hisap lintah. Eh, dihisap atau di gigit sih?? Dan sialnya, saya tidak tau sejak kapan lintah itu main-main di betisku. Tiba-tiba saja berdarah dan lintahnya sudah tidak ada. Sungguh perilaku yang sangat tidak sopan. Ijiin napaa? Kan kalo ijin bisa saya kasi ruang buat si lintahnya untuk main. Tanpa harus curi-curi kesempatan. Yee kan. (hahahha,, gilaaak)
Lanjut, setelah jalan kaki selama 2 jam lebih sedikit kita tiba di tempat peniitipan motor. Horeeee,, Milea memecahkan rekor, tracking lebih cepat dari pemula, tanpa istrahat yang super lebai, tanpa ransel di bawain temen, walo masih mengeluh ini itu kalo pas tanjakan.
Dan, terimakasih pandangan pertama Bahonlangi yang sunguh menyentuh. Meski merasa jadi perempuan super yang tiba-tiba punya teleportaasi tingkat tinggi, tetap saya tidak ada apa-apanya dibanding perempuan-perempuan hebat yang ada disana. Dibanding anak-anak Bahonlangi yang senyumnya tulus setiap kali ketemu.
Sungguh,, aku dan kalian yang masih bisa membaca tulisan ini, Bersyukurlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar