Catatan Kecil...
19.31
Takdir hidup selalu
menuntun kita untuk selalu membahagiakan diri sendiri. Karena, tak ada alasan
untuk selalu berada dalam keterpurukan. Bahagia ataupun sedih, kita yang lebih
paham bagaimana memperlakukan takdir. Tak ada takdir yang kejam, tapi bagaimana
kita pandai memaknai hidup hingga menjadikan nya begitu indah.
Aku pun harus
memaknai bagaimana indah nya senja. Senja yang selalu datang kemudian pergi
dalam hitungan waktu yang singkat. Namun itulah senja, selalu datang di setiap
sore. Untuk besok, besok dan besok hingga besok nya lagi senja pasti hadir, sampai
Sang Maha Memiliki Keindahan yang akan menjadikan salah satu hari untuk akhir
dari senja yang indah itu.
Losari, di pantai
kebanggaan masyarakat Makassar itu, menjadi salah satu surga untuk para pemburu
senja. Akupun demikian, selalu menikmati indahnya sunset (bahasa keren nya
gitu) di pantai losari. Karena apapun alasan nya, senja di losari memang tak
pernah kalah indahnya.
Ajungan losari
adalah pilihan tempat yang tepat bagiku untuk menghabiskan waktu dengan
menikmati matahari tenggelam. Meski ada satu kesalahan lucu yang harus terjadi
di sore itu. Maksud hati ingin mencoba minuman rasa baru, malah minuman nya
berasa balsem. Sial,, pengen mengumpat rasanya, bikin mual. Tapi lupakanlah.
Senja di sore itu lebih penting. Mungkin karena aku terlalu sering melewatkan
hari-hari yang indah. Dan alasannya yang cukup klasik. Sibuk dengan urusan
kerjaan. Dan sore itu aku benar-benar
tidak ingin terganggu dengan hal-hal aneh, apapun itu.
Di anjungan, aku
tidak sendiri. Entah alasan apa yang menjadikan banyak orang juga betah duduk
di lantai plastik bergoyang. Yaa, bergoyang mengikuti alunan ombak. Itu menyenangkan.
Ada beberapa
keluarga dan anak muda yang sedang menanti kapal bebek yang disewakan untuk
sekedar berkeliling di laut pantai losari. Hingga mataku terusik dengan anak
kecil yang sedang duduk di atas kapal bebek yang tidak beroperasi sambil
mengangguk-anggukan kepala mengikuti alunan musik dari kapal yang di tumpanginya. Adrian namanya, anak lelaki yang duduk di
kelas 1 SD ini, asyik menikmati alunan musik yang menurutku tidak sesuai dengan
usia nya saat ini. Ya, musik dugem.
Tak hanya
menganggukan kepala, sesekali dia juga menggoyangkan badannya mengikuti musik itu.
Beberapa kali terdengar suara yang berasal dari beberapa anak kecil itu,
terdengar memanggil namanya. (“riaan, Adrian, kesini mko”) teriakan itu sangat
khas dengan logat Makassar. Tapi Rian (panggilan akrabnya) seakan tak
bergeming. Dia terus bergoyang hingga kadang berjoget seperti anak-anak alay.
Dengan sengaja, dia tidak peduli apapun yang terjadi disekelilingnya.
Aku yang terus
tersenyum, bahkan sesekali tertawa lepas pun, tidak menjadikannya risih. Naluri
jurnalisku kambuh. Aku harus buat tulisan tentang anak ini, bisikku dalam hati.
Karena aku suka anak kecil, aku suka dunia anak-anak yang sangat polos. Hingga aku mendekatinya. ketika dia sadar
kalau aku ingin menyapa, spontan rian berhenti sejenak, kemudian lari dan
berlalu. Berlalu dari hadapanku dan lantai plastic pergoyang itu. Rian
menghilang.
Aku tidak menyerah.
Dengan iming-iming uang aku mendekati beberapa temannya. Setelah bernegosiasi
(seperti transaksi saja, hahah) dua
orang teman nya bersedia memanggil Rian dan di bawa dihadapanku. Aku merasa
seperti seorang yang hendak menculik anak kecil. Hatiku tergelitik, ingin
tertawa terbahak-bahak rasanya. kok, jadi
ribet begini yah? Seperti akan mewawancarai artis terkenal saja, hatiku
menggerutu.
Aku memang wanita
yang memiliki keinginan yang kuat. Jika aku ingin, maka harus ada. Dan aku
pasti akan berusaha untuk mendapatkan itu. Termasuk Rian. Aku ingin tahu,
tinggal dimana? Orang tuanya kerja apa? Dan alasan dia datang ke losari. Mengapa??
Alasanku sederhana, aku tertarik dengan kepolosan anak kecil. Aku suka
bercengkrama dengan anak-anak yang kadang belum ku kenal sebelumnya.
Kita kembali ke
alur cerita. Dengan bantuan Aldi dan Fadli (dua teman Rian yang menjadi polisi
dadakan) Rian pun berhasil dibawa kehadapanku. Layaknya seorang tersangka, Rian
nampak ketakutan dan malu-malu. Naluri wanitaku menenangkan anak kecil yang
polos ini.
“Tenanglah, sy
hanya ingin bercerita dengan kalian bertiga”.
Rian, Aldi dan
Fadli nampak bersemangat. Percakapan singkatpun terjadi. Aku bertanya hal-hal
yang sederhana seperlunya saja. Namun jawabannya tepat sasaran untuk tulisanku
nanti. Ternyata mereka juga tak mau kalah melontarkan pertanyaan padaku.
“kakak, kenapa ki
suka datang kelosari?”
“karena di Losari
ada kalian bertiga” jawabku singkat. Terlihat, mereka tersenyum malu mendengar
jawabanku. Aku tersenyum, melihat kepolosan tiga anak kecil yang ada di
hadapanku. Tiga generasi penerus bangsa. Dan ketika mereka ijin untuk pergi,
aku masih tersenyum geli melihat tingkah lucu ketiga anak kecil ini. Sambil bergandengan
tangan, mereka lari dan berlalu. Memang terlihat ada senyum-senyum malu saat
mereka mendengar jawabanku.
Dari percakapan
yang singkat, aku mendapatkan hal yang luar biasa. Rian, anak kecil yang
tinggal di rajawali, selalu meluangkan waktunya untuk datang ke pantai losari
setiap sore. Bukan untuk mengemis atau meminta belas kasihan dari pengunjung yang
terlihat perlente, tapi untuk menghabiskan senja dengan bermain dan menikmati
riuh ramai di pantai kebanggan masyarakat Makassar itu. Meski ibunya bekerja
sebagai tukang cuci, dan ayahnya hanya seorang penjual mainan keliling, dia
tidak pernah punya niat untuk menjadi pengemis.
Saat saya bertanya,
tentang cita-cita, Rian dengan polos menjawab, “mau ka saya jadi guru kak”.
Cita-cita yang mulia.
Bagi mereka,
berkejar-kejaran di Losari merupakan hal yang sangat luar biasa. Bermain di
atara keramaian orang banyak, orang-orang yang tidak di kenal.
Sederhana, inilah
dunia anak-anak. Dunia yang penuh dengan keceriaan. Bagi mereka, bermain adalah
kebahagiaan mutlak yag tidak bisa di ganggu gugat. Sambil sesekali berceloteh polos
tentang cita-cita dan keinginan ketika besar nanti.
Rian, Fadli dan
Aldi berlalu secepat kilat. Dan aku, masih duduk sendiri memandangi mereka
hingga hilang dari pandangan.
Dari Adrian, aku belajar banyak hal. Dan yang paling mengesankan adalah bahagia itu ada karena diciptakan.
Dari Adrian, aku belajar banyak hal. Dan yang paling mengesankan adalah bahagia itu ada karena diciptakan.
Anjungan Losari,
March’ 24 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar