Sesampainya
di rumah, saya di sambut dua kucing kesayangan Atul. Katanya sih, nama kucing
nya Gery dan Timy (kayak nama snack gitu yaa). Saya tidak begitu suka dengan
binatang, tapi tidak membenci juga. Saya perhatikan atul perhatian sekali sama
si mamalia satu ini.
Lagi perhatiin
atul ngobrol sama kucing nya, Umi atul muncul. Hadeeh, saya kok lupa nanyain si
Umi yaah? Seharusnya kan pas nyampek langsung samperin Umi.
Saya salim
sama Umi (serasa meluk mama) trus kata Umi :
“selamat
datang di rumah nya atul, jangan sungkan yaa”
“iya bu,
rumahnya atul adem. Meneduhkan” jawabku.
“ya
sudah, buruan mandi trus makan malam” kata Umi lagi. Ini maah, mama bangeet. Saya
serasa pulang ke rumah.
Saya lalu
buru-buru ganti baju, bersih-bersih badan dikit. Tidak bisa mandi lagi, saat
itu di madiun hujan deras, selain dingin mandi di malam hari juga tidak baik
buat kesehatan.
Di rumah
itu hanya ada umi, atul dan saya. Eh, ada dua makhluk kesayangan atul juga. Hubungan
umi dan atul kayak sahabat. Saya suka liat chemistry di antara mereka. Sayang
sekali saya tidak paham bahasa jawa. Dibandingkan dengan saya di rumah
Makassar, antara saya dan si Om, kami tidak musuhan, hanya saja semacam ada
jarak.
Pulang kantor,
rebahan dikit trus mandi, masak, makan malam, tidur. Bangun pagi, buatin
sarapan buat Om, mandi, ngantor. Begitu seterusnya. Jarang sekali ada obrolan serius
di antara kami. Apalagi obrolan dari hati kehati antara ayah dan anak. Kalaupun
ngobrol, nanya yang penting-penting saja (soal kantor atau tentang proyek
penelitian yang sedang di kerjakan sm Om). Mungkin kesibukan Om yang semakin
banyak juga pola pikir seorang doctor yang
hari-harinya penuh dengan rumus statistic dan kalkulus menjadikan kami lebih
memilih untuk tidak saling mengusik. Padahal, ketika sedang banyak masalah
sebenarnya manusia butuh teman cerita, teman berbagi. Bukan untuk mendapatkan
solusi, namun kadang manusia hanya butuh di dengar.
|
New Family |
Kadang saya
iri kepada mereka yang bisa memeluk ayah dan ibunya setiap hari. Ketika pulang
kerja atau pulang kuliah di sambut pelukan mama dan senyum dari papa. Mamaku suka
tanya tentang dinamika kantor. Papa juga tidak pernah berhenti berbagi cerita
tentang hobinya. Tapi ini via telpon. Yaah, memang harus selalu di syukuri,
meski kami memiliki kesibukan yang banyak, kami tidak lupa untuk saling
menyapa. Saat capek dengan urusan kantor, suara mama adalah penawar paling
ampuh.
Baiklah,
kembali ke benang merah, malam semakin larut. Bunyi jangkrik dan kodok mulai
bersahutan. Di rumah Makassar juga ada suara kayak begini, tapi pas musim hujan
saja. Selebihnya suara bising dan hiruk pikuk keangkuhan kota. Saya dan atul
mulai rebahan, sebenarnya kami belum ngantuk. Tapi kami memilih untuk masuk
kamar, banyak yang harus kami diskusikan. Terakhir tidur sekamar sama anak ini,
kongres PPMI di Tulungagung tahun 2012, sekitar april. Hamper tiga tahun tidak ketemu, banyak cerita yang harus
kami bagi. Seperti yang saya tuliskan pada My Trip *episode1 entah takdir apa
yang mempertemukanku dengan dia. Saking sibuknya berbagi cerita, kami lupa
bahwa malam sudah memasuki pukul 00.00 wib. Kami harus tidur. Perjalananku
besok akan membutuhkan banyak tenaga. Saya harus istrahat.
Hari masih
sangat pagi, ketika saya bangun atul sudah bangun lebih dulu. Katanya dia mau
ngantar umi ke sawah. Sebenarnya waktu itu saya mau ikut, tapi karna terlambat
bangun, jadi saya menunggu di rumah saja. Saya keluar rumah, dan gilaaaakkk,
kereen!!! Tadi malam tidak ada tanda-tanda klo tempatnya bakalan sekeren ini,
mgkn tertutupi gelap dan hujan. Hamparan sawah,
bukit yang hijau, jalanan yang sepi, ada beberapa anak sekolah dengan
sepedanya. Benar-benar meneduhkan. Seandainya Makassar-madiun itu dekat,
mungkin saya akan sering main ke sini.
Sebenarnya
di Sulawesi Selatan juga banyak suasana seperti ini, hanya saja tujuan untuk
ketempat itu tidak ada. Masih nikmati suasana desa, Hp berdering, pesan BBM dari mbk ecka mendarat
“Say,
jalan dari madiun jam berapa? Kira-kira sampe jogja jam berapa?
|
Ecka Pramita |
Namanya Ecka
Pramita. Dia senior beberapa tahun di PPMI. Kenal sama doi itu yaah di grup
alumni PPMI. Menurut kacamata seorang Hastuti Talangko, mbk Ecka orangnya cupel
dan bersahabat juga keibuan (yoilaah, doi kan sudah punya anak satu, Attar
namanya). Dari semua senior cewek yang ada di grup, hanya mbk Ecka yang
benar-benar mau membuka diri untuk bersahabat dan berdiskusi lepas dengan beberapa
gadis-gadis muda yang tergabung di grup Alumni PPMI, termasuk saya. Padahal kami
belum pernah ketemu. Apalagi saya, sudah beda pulau, beda suku, beda bahasa
tentu saja untuk mengimbangi banyak perbedaan diantara kami, harus sering
membangun komunikasi. Dan mbk Ecka benar-benar dewasa menghadapi kami,
gadis-gadis ababil yang rawan dengan suasana galau (padahal kondisi kami sebenarnya
tidak seseram itu).
Menurut skenario,
di jogja saya di jemput sama mbk Ecka. Makanya doi ngebeet banget Tanya rute
perjalanan.
Saya sudah
mandi, sudah sarapan, bersiap untuk melanjutkan perjalanan lagi. Pamitan sama
Umi, dan satu pesan dari Umi,
“hati-hati
di jalan,, Datang lagi yaa”
Saya terharu.
Pengen nangis. Saya peluk umi,
“umi jaga
kesehatan ya, Insya Allah saya akan kembali ke sini lagi”
Kami lalu
cuss ke stasiun. Selain selain sedih pisah sama Umi, saya juga sedih karna atul
tidak bisa ikut ke Jakarta. Entahlah, saya dan atul kayak kembar dari dua orang
tua yang berbeda. Tanggal lahir kami pun tidak beda jauh, saya 25 januari, atul
30 januari. Benar-benar jodoh.
Sampai di
stasiun, kami ke loket tiket. Saya akan naik kereta Sancaka Pagi. Atul gag bisa
nganter sampe dalam kereta. Untuk keamanan sampai di dalam kereta, saya di
bantu pak petugas. Si bapak (ah, bapak atau mas yaa, doi masih muda soalnya
hanya saja pkek baju seragam) memandu saya sampai kedalam kereta. Hanya untuk
memastikan saya gag salah naik kereta, gag salah gerbong, gag salah tempat
duduk. Maklum, di Sulawesi gag ada kereta. Ini untuk pertama kalinya saya naek
kereta api sendirian. Dulu pernah, tapi bareng teman.
Keretanya
sudah mau jalan, pesan BBM dari atul,
“saya liatin
dari sini, sampe keretanya pergi dan hilang sis”
Saya lari
kepintu kereta. Melihat kearah stasiun, atul masih ada.
“atuuuuuulll!!!!!
Teriakku sambil melambaikan tangan.
Saya berdiri
di pintu sampai atul dan stasiun benar-benar hilang. Perpisahan yang dramatis,
kayak di pilem FTV. Lucu campur sedih. Bye Madiun.
Saya kembali
ke dalam kereta. Menikmati perjalanan lagi. Dan lagi, sendirian. Tapi kali ini
tidak terlalu membosankan. Kereta kelas bisnis, suasananya tidak seseram naek
bis. Andai saja di Sulawesi ada kereta
api. Menurut guide ketje, si Hidromatul Maqnuah, perjalanan ke jogja akan ditempuh
selama 2 jam.
Saya turun
di stasiun Toegoe (stasiun tugu Yogyakarta). Langsung hubungi mbk Ecka, katanya
mbk Ecka agak telat jemput. Lagi antri di Bank. Eemm,, rapopo laah. Berlama-lama
di tempat baru kan kereen. Bisa putu-putu dulu.
Dan Mbk
Ecka pun tiba. Pertama kalinya ketemu mbk Ecka secara langsung,
“peluuk
dulu” kataku. Ah, punya kakak baru lagi.
Saya berganti
Guide. Sebelum kerumah mbk Ecka untuk prepare ke Jakarta, gag afdhol kayaknya
kalo gag singgah di salah satu tempat nongkrong anak muda Jogja. Café Legend. Disini
perutku disapa makanan jogja. Terakhir ke jogja itu 2009. Dan kali ini, menapakan
kaki di tanah Sultan HB itu hanya beberapa jam saja .
Perjalanan
panjang pun di mulai lagi. Tapi kali ini tidak sendiri. Saya bareng temen-temen
alumni PPMI dari jogja. Disini saya ketemu Mita. Sebelumnya kami memang janjian
akan ke jakartanya bareng. Kenal sama Mita juga di PPMI, sama kayak Atul. Mita
dari PPMI Banjarmasin. Doi pernah jadi guide ku paling keren sewaktu berkunjung
ke Banjarmasin.
Perjalanan
kejakarta lumayan lama. Naik kereta Gaya
Baru Malam Jogja-Jakarta. Menurut rute, Kereta start dari jogja pukul 16.59 wib, dan tiba sekitar pukul 2 pagi. Untung
saja kali ini tidak sendirian.
Curhat
panjang dengan dua cewek ketje (mbk Ecka dan Mita) pun di mulai, Dan Good bye
Jogja.
To Be Continue......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar