Kamis, 19 Februari 2015

My Trip #NotWalkAlone



Episode : Bye Madiun, Bye Jogja

 


Sesampainya di rumah, saya di sambut dua kucing kesayangan Atul. Katanya sih, nama kucing nya Gery dan Timy (kayak nama snack gitu yaa). Saya tidak begitu suka dengan binatang, tapi tidak membenci juga. Saya perhatikan atul perhatian sekali sama si mamalia satu ini.
Lagi perhatiin atul ngobrol sama kucing nya, Umi atul muncul. Hadeeh, saya kok lupa nanyain si Umi yaah? Seharusnya kan pas nyampek langsung samperin Umi.
Saya salim sama Umi (serasa meluk mama) trus kata Umi :
“selamat datang di rumah nya atul, jangan sungkan yaa”
“iya bu, rumahnya atul adem. Meneduhkan”  jawabku.
“ya sudah, buruan mandi trus makan malam” kata Umi lagi. Ini maah, mama bangeet. Saya serasa pulang ke rumah.
Saya lalu buru-buru ganti baju, bersih-bersih badan dikit. Tidak bisa mandi lagi, saat itu di madiun hujan deras, selain dingin mandi di malam hari juga tidak baik buat kesehatan.
Di rumah itu hanya ada umi, atul dan saya. Eh, ada dua makhluk kesayangan atul juga. Hubungan umi dan atul kayak sahabat. Saya suka liat chemistry di antara mereka. Sayang sekali saya tidak paham bahasa jawa. Dibandingkan dengan saya di rumah Makassar, antara saya dan si Om, kami tidak musuhan, hanya saja semacam ada jarak.
Pulang kantor, rebahan dikit trus mandi, masak, makan malam, tidur. Bangun pagi, buatin sarapan buat Om, mandi, ngantor. Begitu seterusnya. Jarang sekali ada obrolan serius di antara kami. Apalagi obrolan dari hati kehati antara ayah dan anak. Kalaupun ngobrol, nanya yang penting-penting saja (soal kantor atau tentang proyek penelitian yang sedang di kerjakan sm Om). Mungkin kesibukan Om yang semakin banyak juga  pola pikir seorang doctor yang hari-harinya penuh dengan rumus statistic dan kalkulus menjadikan kami lebih memilih untuk tidak saling mengusik. Padahal, ketika sedang banyak masalah sebenarnya manusia butuh teman cerita, teman berbagi. Bukan untuk mendapatkan solusi, namun kadang manusia hanya butuh di dengar.   
New Family
Kadang saya iri kepada mereka yang bisa memeluk ayah dan ibunya setiap hari. Ketika pulang kerja atau pulang kuliah di sambut pelukan mama dan senyum dari papa. Mamaku suka tanya tentang dinamika kantor. Papa juga tidak pernah berhenti berbagi cerita tentang hobinya. Tapi ini via telpon. Yaah, memang harus selalu di syukuri, meski kami memiliki kesibukan yang banyak, kami tidak lupa untuk saling menyapa. Saat capek dengan urusan kantor, suara mama adalah penawar paling ampuh.
Baiklah, kembali ke benang merah, malam semakin larut. Bunyi jangkrik dan kodok mulai bersahutan. Di rumah Makassar juga ada suara kayak begini, tapi pas musim hujan saja. Selebihnya suara bising dan hiruk pikuk keangkuhan kota. Saya dan atul mulai rebahan, sebenarnya kami belum ngantuk. Tapi kami memilih untuk masuk kamar, banyak yang harus kami diskusikan. Terakhir tidur sekamar sama anak ini, kongres PPMI di Tulungagung tahun 2012, sekitar april. Hamper tiga  tahun tidak ketemu, banyak cerita yang harus kami bagi. Seperti yang saya tuliskan pada My Trip *episode1 entah takdir apa yang mempertemukanku dengan dia. Saking sibuknya berbagi cerita, kami lupa bahwa malam sudah memasuki pukul 00.00 wib. Kami harus tidur. Perjalananku besok akan membutuhkan banyak tenaga. Saya harus istrahat.
Hari masih sangat pagi, ketika saya bangun atul sudah bangun lebih dulu. Katanya dia mau ngantar umi ke sawah. Sebenarnya waktu itu saya mau ikut, tapi karna terlambat bangun, jadi saya menunggu di rumah saja. Saya keluar rumah, dan gilaaaakkk, kereen!!! Tadi malam tidak ada tanda-tanda klo tempatnya bakalan sekeren ini, mgkn tertutupi gelap dan hujan. Hamparan sawah,  bukit yang hijau, jalanan yang sepi, ada beberapa anak sekolah dengan sepedanya. Benar-benar meneduhkan. Seandainya Makassar-madiun itu dekat, mungkin saya akan sering main ke sini.
Sebenarnya di Sulawesi Selatan juga banyak suasana seperti ini, hanya saja tujuan untuk ketempat itu tidak ada. Masih nikmati suasana desa, Hp berdering, pesan BBM  dari mbk ecka mendarat
“Say, jalan dari madiun jam berapa? Kira-kira sampe jogja jam berapa?
Ecka Pramita
Namanya Ecka Pramita. Dia senior beberapa tahun di PPMI. Kenal sama doi itu yaah di grup alumni PPMI. Menurut kacamata seorang Hastuti Talangko, mbk Ecka orangnya cupel dan bersahabat juga keibuan (yoilaah, doi kan sudah punya anak satu, Attar namanya). Dari semua senior cewek yang ada di grup, hanya mbk Ecka yang benar-benar mau membuka diri untuk bersahabat dan berdiskusi lepas dengan beberapa gadis-gadis muda yang tergabung di grup Alumni PPMI, termasuk saya. Padahal kami belum pernah ketemu. Apalagi saya, sudah beda pulau, beda suku, beda bahasa tentu saja untuk mengimbangi banyak perbedaan diantara kami, harus sering membangun komunikasi. Dan mbk Ecka benar-benar dewasa menghadapi kami, gadis-gadis ababil yang rawan dengan suasana galau (padahal kondisi kami sebenarnya tidak seseram itu).
Menurut skenario, di jogja saya di jemput sama mbk Ecka. Makanya doi ngebeet banget Tanya rute perjalanan.
Saya sudah mandi, sudah sarapan, bersiap untuk melanjutkan perjalanan lagi. Pamitan sama Umi, dan satu pesan dari Umi,
“hati-hati di jalan,, Datang lagi yaa”
Saya terharu. Pengen nangis. Saya peluk umi,
“umi jaga kesehatan ya, Insya Allah saya akan kembali ke sini lagi”
Kami lalu cuss ke stasiun. Selain selain sedih pisah sama Umi, saya juga sedih karna atul tidak bisa ikut ke Jakarta. Entahlah, saya dan atul kayak kembar dari dua orang tua yang berbeda. Tanggal lahir kami pun tidak beda jauh, saya 25 januari, atul 30 januari. Benar-benar jodoh.
Sampai di stasiun, kami ke loket tiket. Saya akan naik kereta Sancaka Pagi. Atul gag bisa nganter sampe dalam kereta. Untuk keamanan sampai di dalam kereta, saya di bantu pak petugas. Si bapak (ah, bapak atau mas yaa, doi masih muda soalnya hanya saja pkek baju seragam) memandu saya sampai kedalam kereta. Hanya untuk memastikan saya gag salah naik kereta, gag salah gerbong, gag salah tempat duduk. Maklum, di Sulawesi gag ada kereta. Ini untuk pertama kalinya saya naek kereta api sendirian. Dulu pernah, tapi bareng teman.
Keretanya sudah mau jalan, pesan BBM dari  atul,
“saya liatin dari sini, sampe keretanya pergi dan hilang sis”
Saya lari kepintu kereta. Melihat kearah stasiun, atul masih ada.
“atuuuuuulll!!!!! Teriakku sambil melambaikan tangan.
Saya berdiri di pintu sampai atul dan stasiun benar-benar hilang. Perpisahan yang dramatis, kayak di pilem FTV. Lucu campur sedih. Bye Madiun.
Saya kembali ke dalam kereta. Menikmati perjalanan lagi. Dan lagi, sendirian. Tapi kali ini tidak terlalu membosankan. Kereta kelas bisnis, suasananya tidak seseram naek bis. Andai  saja di Sulawesi ada kereta api. Menurut guide ketje, si Hidromatul Maqnuah, perjalanan ke jogja akan ditempuh selama 2 jam.
Saya turun di stasiun Toegoe (stasiun tugu Yogyakarta). Langsung hubungi mbk Ecka, katanya mbk Ecka agak telat jemput. Lagi antri di Bank. Eemm,, rapopo laah. Berlama-lama di tempat baru kan kereen. Bisa putu-putu dulu.
Dan Mbk Ecka pun tiba. Pertama kalinya ketemu mbk Ecka secara langsung,
“peluuk dulu” kataku. Ah, punya kakak baru lagi.
Saya berganti Guide. Sebelum kerumah mbk Ecka untuk prepare ke Jakarta, gag afdhol kayaknya kalo gag singgah di salah satu tempat nongkrong anak muda Jogja. Café Legend. Disini perutku disapa makanan jogja. Terakhir ke jogja itu 2009. Dan kali ini, menapakan kaki di tanah Sultan HB itu hanya beberapa jam saja .
Perjalanan panjang pun di mulai lagi. Tapi kali ini tidak sendiri. Saya bareng temen-temen alumni PPMI dari jogja. Disini saya ketemu Mita. Sebelumnya kami memang janjian akan ke jakartanya bareng. Kenal sama Mita juga di PPMI, sama kayak Atul. Mita dari PPMI Banjarmasin. Doi pernah jadi guide ku paling keren sewaktu berkunjung ke Banjarmasin.
Perjalanan kejakarta  lumayan lama. Naik kereta Gaya Baru Malam Jogja-Jakarta. Menurut rute, Kereta start dari jogja pukul  16.59 wib, dan tiba sekitar pukul 2 pagi. Untung saja kali ini tidak sendirian.
Curhat panjang dengan dua cewek ketje (mbk Ecka dan Mita) pun di mulai, Dan Good bye Jogja.

To Be Continue......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar