Saya sengaja tetap menjadikan “Hujan”
sebagai judul tulisan ini. Mungkin ini sedikit sama dengan Lail (tokoh gadis
dalam buku Hujan by Tereliye) dalam mengartikan hujan. Ketika Lail melewati
berbagai peristiwa menyedihkan maupun membahagiakan saat hujan, saya pun
demikian. Benar kata Maryam (sahabat karib Lail dalam buku Hujan), ada
masa-masa dimana kita membenci hujan. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Hujan
akan terus turun ke bumi. Entah ketika musim hujan ataupun tidak. Kondisi bumi
yang semakin tua menjadikan musim semakin tidak beraturan. Mau tidak mau, kita
akan menyukai hujan (menurutku, kamu harus setuju dengan ini, tapi klo gag setuju yaa, gag pa2).
Tulisan ini sebenarnya tentang optimisme.
Hidup yang tidak melulu harus di hujat. Mengapa harus begini, mengapa harus
begitu, mengapa harus ketemu si ini, mengapa dipisahkan dengan si itu. Mungkin
kita lupa, dalam hidup akan selalu ada perubahan. Tugas kita sebagai manusia
adalah siap menerima setiap perubahan itu. Mau tidak mau, suka tidak suka.
Lama-lama akan terbiasa. Semua butuh waktu dan proses. Terlalu naif jika kita
menghabiskan waktu hanya untuk menggerutu pada Sang pencipta.
Awal april lalu, saya diperkenalkan teman
dikantor dengan salah satu drama korea “Descendants Of The Sun (DOTS)”. Saya
memang penggemar drama korea (drakor) sejak SMP, tapi bukan penggemar yang
alayers ababilers. Bukan penggemar yang sampai bahasa sehari-harinya harus ala
anak korea. Jika ditanya, sehari-hari saya lebih suka berbicara dengan bahasa
Inggris dibanding bahasa korea (penting gag sih, hahah).
Terlepas dari pemeran DOTS yang ganteng
dan cantik juga peran ciamiik dari keduanya yang bisa bikin kasmaran akut,,
saya sangat mengapesiasi pesan dari drama ini. Tentang kegigihan seorang dokter
muda di daerah konfilk. Tentang bagaimana profesionalitas, kemanusiaan dan
masalah pribadi. Memilah milih mana yang paling utama dan mana yang harus
dikesampingkan. Mengatakan iya jika sesuai prosedur dan menentang jika tidak
sesuai. Memang sudah seharusnya seperti itu. Terlalu banyak kebijakan malah
menjadikan kita lemah. Menjadikan kita banyak membuat alasan yang terlalu
dibuat-buat agar masuk akal. Saya sepakat dengan kalimat “orang bijak adalah
orang yang tidak selalu meminta maaf”.
Kita kembali ke novel Tereliye. Saya
pernah liat beberapa postingan teman di media sosial Facebook yang sedikit
memojokan isi dari novel Tereliye. Yang menganggap para pembaca novel Tereliye
akan menjadikan orang memiliki pribadi melankolis bahkan lebay. Yang menurut
mereka isi dari novel Tereliye hanya akan menciptakan generasi-generasi alay.
SAYA TIDAK SETUJU. Saya adalah pecinta novel tereliye tapi saya tidak alay.
Yes, yang menjadikan orang alay atau tidak adalah bagaimana cara masing-masing
pribadi menyikapi isi novel. Saya pribadi berpendapat, dari beberapa novel Tereliye
yang sudah saya baca, isinya penuh dengan optimisme, kerja keras, sejarah
bahkan pengetahuan. Tentang konflik-konflik kecil dalam keluarga, tentang
bagaimana menghargai sebuah perjuangan, tentang masalah-masalah kehidupan.
Tidak peduli dengan kata puitis yang ada didalamnya. Menurutku itu hanya
sebagian dari bumbu novel agar isinya tidak terlalu monoton.
“Daripada sibuk mengkritik karya orang lain, sebaiknya
kita menciptakan sesuatu yang lebih bermanfaat. Bukankah terlalu banyak
mengkritik pertanda hati yang dengki?”
Tentang hobi membaca, saya sedikit
bercerita. Semenjak SD, saya memang suka membaca. Mungkin saat itu karena bapak
adalah seorang Guru, yang setiap pulang sekolah bapak selalu membawa buku-buku
bacaan anak. Selain itu, saya juga suka membaca atlas. Dari atlas saya seperti
melihat dunia secara nyata. Diusia SD, saya sudah membayangkan bagaimana hidup
di Eropa yang penuh dengan salju, hidup di Timur Tengah yang panas,
membayangkan berkeliling Indonesia. Saat itu, kota yang ingin saya kunjungi
adalah Minangkabau (keinginan itu masih ada sampai sekarang).
Hobi baca berlanjut hingga dewasa. Saya
lebih memilih menghabiskan uang ratusan ribu untuk membeli buku daripada
membeli baju. Meski buku yang saya sukai hanya sebatas buku biografi dan novel, tapi menurutku itu bermanfaat.
Kembali ke novel “Hujan’. Membaca novel
hujan menjadikan saya menghayal kemasa depan. Dari isi novel itu, kita
seakan-akan menjadi generasi manusia paling canggih. Mulai dari tempat tinggal,
cara berkomunikasi jarak jauh, perubahan iklim, cara bertransaksi, semuanya
serba canggih. Dibuku itu tertulis ditahun 2044, kita sepertinya menjadi
generasi yang segala sesuatunya serba mudah. Tidak ada kata sulit di masa itu.
Dari novel Hujan, saya belajar bagaimana
kita menghargai waktu, menghargai apa yang kita miliki. Karena dimasa yang
serba canggih itu, ada satu yang tidak boleh kita lupakan. Dalam sekejap, jika
Sang Maha Memiliki berkehendak maka tidak ada yang mustahil. Ketika beberapa
menit lalu Lail baru saja berkomunikasi dengan ayahnya dengan menggunakan fitur
tercanggih di masa itu, dalam sekian menit, Sang Maha Memiliki merubah
segalanya. Mengguncangkan bumi dan isinya, memporak-porandakan seluruh isi
kota. Hanya beberapa orang yang selamat dalam peristiwa itu. Termasuk Lail dan
Esok. Ayah, Ibu dan saudara terdekat hilang bersama peristiwa naas itu. Semua
orang mengenang peristiwa itu sebagai salah satu peristiwa besar yang
mengajarkan kita mensyukuri apa yang telah kita punya. (alur tulisannya kayak
meleset yah).
Novel Hujan mengajarkan saya kata
optimisme, kerja keras, siap menerima setiap perubahan dan tetap berpikir
positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar